Jumat, 19 Oktober 2012

Rasululloh pingsan mendengar tentang pintu neraka ke tujuh



Neraka, Siksa Neraka

SAMPAIKANLAH WALAU HANYA 1 AYAT, DISINI ANE HANYA MAU SHARE AJ TENTANG RIWAYAT NABI BESAR KITA MUHAMMAD SAW YANG MUNGKIN AGAN BELUM TAU ATAUPUN BAGI AGAN YANG SUDAH TAHU MUNGKIN BISA MENGHANGATKAN SUASANA HATI KITA AGAR SELALU DAMAI TENTRAM TIDAK GALAU SEPERTI ABG SEKARANG

Dari Yazid Arraqqasyi dari Anas bin Malik ra. berkata: Jibril datang kepada Nabi saw pada waktu yg ia tidak biasa datang dalam keadaan berubah mukanya, maka ditanya oleh nabi s.a.w.: "Mengapa aku melihat kau berubah muka?"

Jawabnya: "Ya Muhammad, aku datang kepadamu di saat Allah menyuruh supaya dikobarkan penyalaan api neraka, maka tidak layak bagi orang yg mengetahui bahwa neraka Jahannam itu benar, dan siksa kubur itu benar, dan siksa Allah itu benar untuk bersuka-suka sebelum ia merasa aman dari padanya."

Lalu nabi s.a.w. bersabda: "Ya Jibril, jelaskan padaku sifat Jahannam." Jawabnya: "Ya. Ketika Allah menjadikan Jahannam, maka dinyalakan selama seribu tahun, sehingga merah, kemudian dilanjutkan seribu tahun sehingga putih, kemudian seribu tahun sehingga hitam, maka ia hitam gelap, tidak pernah padam nyala dan baranya. Demi Allah yg mengutus engkau dengan hak, andaikan terbuka sebesar lubang jarum niscaya akan dapat membakar penduduk dunia semuanya kerana panasnya.

Demi Allah yg mengutus engkau dengan hak, andaikan satu baju ahli neraka itu digantung di antara langit dan bumi niscaya akan mati penduduk bumi kerana panas dan basinya. Demi Allah yg mengutus engkau dengan hak, andaikan satu pergelangan dari rantai yg disebut dalam Al-Qur'an itu diletakkan di atas bukit, niscaya akan cair sampai ke bawah bumi yg ke tujuh.

Neraka, Api Neraka

Demi Allah yg mengutus engkau dengan hak, andaikan seorang di ujung barat tersiksa, niscaya akan terbakar orang-orang yang di ujung timur kerana sangat panasnya, Jahannam itu sangat dalam dan perhiasannya besi, dan minumannya air panas campur nanah, dan pakaiannya potongan-potongan api. Api neraka itu ada tujuh pintu, tiap-tiap pintu ada bagiannya yang tertentu dari orang laki-laki dan perempuan."

Nabi s.a.w. bertanya: "Apakah pintu-pintunya bagaikan pintu-pintu rumah kami?" Jawabnya: "Tidak, tetapi selalu terbuka, setengahnya di bawah dari lainnya, dari pintu ke pintu jarak perjalanan 70,000 tahun, tiap pintu lebih panas dari yang lain 70 kali ganda." (nota kefahaman: yaitu yg lebih bawah lebih panas)

Tanya Rasulullah s.a.w.: "Siapakah penduduk masing-masing pintu?" Jawab Jibril:
"Pintu yg terbawah untuk orang-orang munafik, dan orang-orang yg kafir setelah diturunkan hidangan mukjizat nabi Isa a.s. serta keluarga Fir'aun, namanya Al-Hawiyah.

Pintu kedua tempat orang-orang musyrikin bernama Jahim,

Pintu ketiga tempat orang shobi'in bernama Saqar.

Pintu ke empat tempat Iblis dan pengikutnya dari kaum majusi bernama Ladha,

Pintu kelima orang yahudi bernama Huthomah.

Pintu ke enam tempat orang nashara bernama Sa'eir."

Kemudian Jibril diam, segan pada Rasulullah s.a.w. sehingga ditanya: "Mengapa tidak kau terangkan penduduk pintu ke tujuh?" Jawabnya: "Di dalamnya orang-orang yg berdosa besar dari ummatmu yg sampai mati belum sempat bertaubat."

Maka nabi s.a.w. jatuh pingsan ketika mendengar keterangan itu, sehingga Jibril meletakkan kepala nabi s.a.w. di pangkuannya sehingga sadar kembali dan sesudah sadar nabi saw bersabda: "Ya Jibril, sungguh besar kerisauanku dan sangat sedihku, apakah ada seorang dari ummat ku yang akan masuk ke dalam neraka?" Jawabnya: "Ya, yaitu orang yg berdosa besar dari ummatmu."

Kemudian nabi s.a.w. menangis, Jibril juga menangis, kemudian nabi s.a.w. masuk ke dalam rumahnya dan tidak keluar kecuali untuk sembahyang kemudian kembali dan tidak berbicara dengan orang dan bila sembahyang selalu menangis dan minta kepada Allah.


Sumber: http://kodokoala.blogspot.com/2012/09/rasulullah-pingsan-mendengar-tentang.html#ixzz29kEsmTIB

MANFAAT WUDHU DAN SHOLAT DARI SEGI KESEHATAN MODERN


MANFAAT WUDHU DAN SHOLAT DARI SEGI KESEHATAN MODERN
Dr. Bahar Azwar, SpB-Onk, seorang dokter spesialis bedah-onkologi ( bedah tumor ) lulusan FK UI dalam bukunya “ Ketika Dokter Memaknai Sholat “ mampu menjabarkan makna gerakan sholat. Bagaimana sebenarnya manfaat sholat dan gerakan-gerakannya secara medis? Selama ini sholat yang kita lakukan lima kali sehari, sebenarnya telah memberikan investasi kesehatan yang cukup besar bagi kehidupan kita. Mulai dari berwudlu ( bersuci ), gerakan sholat sampai dengan salam memiliki makna yang luar biasa hebatnya baik untuk kesehatan fisik, mental bahkan keseimbangan spiritual dan emosional. Tetapi sayang sedikit dari kita yang memahaminya. Berikut rangkaian dan manfaat kesehatan dari rukun Islam yang kedua ini.

WUDHU
a. Manfaat secara umum
Kulit merupakan organ yang terbesar tubuh kita yang fungsi utamanya membungkus tubuh serta melindungi tubuh dari berbagai ancaman kuman, racun, radiasi juga mengatur suhu tubuh, fungsi ekskresi ( tempat pembuangan zat-zat yang tak berguna melalui pori-pori ) dan media komunikasi antar sel syaraf untuk rangsang nyeri, panas, sentuhan secara tekanan.
Begitu besar fungsi kulit maka kestabilannya ditentukan oleh pH (derajat keasaman) dan kelembaban.
Bersuci merupakan salah satu metode menjaga kestabilan tersebut khususnya kelembaban kulit.
Kalau kulit sering kering akan sangat berbahaya bagi kesehatan kulit terutama mudah terinfeksi kuman. Dengan bersuci berarti terjadinya proses peremajaan dan pencucian kulit, selaput lendir, dan juga lubang-lubang tubuh yang berhubungan dengan dunia luar (pori kulit, rongga mulut, hidung, telinga). Seperti kita ketahui kulit merupakan tempat berkembangnya banya kuman dan flora normal, diantaranya Staphylococcus epidermis, Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, Mycobacterium sp (penyakit TBC kulit). Begitu juga dengan rongga hidung terdapat kuman Streptococcus pneumonia (penyakit pneumoni paru), Neisseria sp, Hemophilus sp.
Seorang ahli bedah diwajibkan membasuh kedua belah tangan setiap kali melakukan operasi sebagai proses sterilisasi dari kuman. Cara ini baru dikenal abad ke-20,sebagaimana kita tahu jepang membutuhkan 100 tahun untuk membiasakan cuci tangan, kapanye2 cuci tangan juga sedang gencar2nya di media massa, padahal umat Islam sudah membudayakan sejak abad ke-14 yang lalu. Luar Biasa!

b. Keutamaan Berkumur –kumur
Berkumur –kumur berarti membersihkan rongga mulut dari penularan penyakit. Sisa makanan sering mengendap atau tersangkut di antara sela gigi yang jika tidak dibersihkan ( dengan berkumur-kumur atau menggosok gigi) akhirnya akan menjadi mediasi pertumbuhan kuman. Dengan berkumur-kumur secara benar dan dilakukan lima kali sehari berarti tanpa kita sadari dapat mencegah dari infeksi gigi dan mulut.
Penelitian modern membuktikan bahwa berkumur dapat menjaga mulut dan tenggorokan dari radang dan menjaga gusi dari luka. Berkumur juga dapat menjaga dan membersihkan gigi dengan menghilangkan sisa-sisa makanan yang terdapat di sela-sela gigi setelah makan. Manfaat berkumur lainnya yg juga penting adalah menguatkan sebagian otot-otot wajah dan menjaga kesegarannya. Berkumur merupakan latihan penting yang diakui oleh pakar dalam bidang olahraga, karena berkumur jika dilakukan dengan menggerakkan otot-otot wajah dengan baik dapat menjadikan jiwa seseorang tenang.

c. Istinsyaq
Istinsyaq berarti menghirup air dengan lubang hidung, melalui rongga hidung sampai ke tenggorokan bagian hidung (nasofaring). Fungsinya untuk mensucikan selaput dan lendir hidung yang tercemar oleh udara kotor dan juga kuman.Selama ini kita ketahui selaput dan lendir hidung merupakan basis pertahanan pertama pernapasan.
Dengan istinsyaq mudah-mudahan kuman infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dapat dicegah.
Penelitian ilmu modern yang dilakukan oleh tim kedokteran Universitas Aleksandria membuktikan bahwa kebanyakan orang yg berwudhu secara kontinyu, maka hidung mereka bersih dan bebas dari debu, bakteri dan mikroba. Tidak diragukan lagi bahwa lubang hidung merupakan tempat yg rentan dihinggapi mikroba dan virus, tetapi dengan membasuh hidung secara kontinyu den melakukan istinsyaq (memasukan dan mengeluarkan air ke dan dari hidung di saat berwudhu), maka lubang hidung menjadi bersih dan terbebas dari radang dan bakteri, dan ini mencerminkan kesehatan tubuh secara keseluruhan. Proses ini dapat menjaga manusia akan bahaya pemindahan mikroba dari hidung ke anggota tubuh yg lain
d. Membasuh Wajah dan Kedua Telapak Tangan
Membasuh wajah dan kedua telapak tangan sampai ke siku memiliki manfaat yang sangat besar dalam menghilangkan debu dan mikroba, lebih dari membasuh hidung. Membasuh wajah dan kedua telapak tangan sanpai ke siku juga daat menghilangkan keringat dan permukaan kulit dan membersihkan kulit dari lemak yg dipartisi oleh kelenjar kulit, dan ini biasanya menjadi tempat yg ideal untuk berkembang biaknya bakteri.
Begitu pula dengan pembersihan telinga sampai dengan pensucian kaki beserta telapak kaki yang tak kalah pentingnya untuk mencegah berbagai infeksi cacing yang masih menjadi masalah terbesar di negara kita
e. Membasuh Kedua Telapak Kaki
Membasuh kedua telapak kaki dengan memijat secara baik danpat mendatangkan perasaan tenang dan nyaman, karena telapak kaki merupakan cerminan seluruh perangkat tubuh. Orang yang berwudhu seakan-akan memijat seluruh tubuhnya satu-persatu, padahal ia hanya membasuh kedua telapak kakinya dengan air dan memijatnya dengan baik. Ini merupakan salah satu rahasia timbulnya perasaan tenang dan nyaman yang dirasakan oleh seorang muslim setelah berwudhu
MANFAAT GERAKAN SHOLAT
a. Berdiri lurus
Berdiri lurus adalah pelurusan tulang belakang, dan menjadi awal dari sebuah latihan pernapasan, pencernaan dan tulang.
b. Takbir
Takbir merupakan latihan awal pernapasan, Paru-paru adalah alat pernapasan, Paru kita terlindung dalam rongga dada yang tersusun dari tulang iga yang melengkung dan tulang belakang yang mencembung. Susunan ini didukung oleh dua jenis otot yaitu yang menjauhkan lengan dari dada (abductor) dan mendekatkannya (adductor). Takbir berarti kegiatan mengangkat lengan dan merenggangkannya, hingga rongga dada mengembang seperti halnya paru-paru. Dan mengangkat tangan berarti meregangnya otot-otot bahu hingga aliran darah yang membawa oksigen menjadi lancar.
c. Ruku
Dengan ruku’, memperlancar aliran darah dan getah bening ke leher oleh karena sejajarnya letak bahu dengan leher. Aliran akan semakin lancar bila ruku’ dilakukan dengan benar yaitu meletakkan perut dan dada lebih tinggi daripada leher. Ruku’ juga mengempiskan pernapasan. Pelurusan tulang belakang pada saat ruku’ berarti mencegah terjadinya pengapuran. Selain itu, ruku’ adalah latihan kemih (buang air kecil) untuk mencegah keluhan prostat. Pelurusan tulang belakang akan mengempiskan ginjal. Sedangkan penekanan kandung kemih oleh tulang belakang dan tulang kemaluan akan melancarkan kemih. Getah bening (limfe) fungsi utamanya adalah menyaring dan menumpas kuman penyakit yang berkeliaran di dalam darah.
d. Sujud
Sujud Mencegah Wasir, mengalirkan getah bening dari tungkai perut dan dada ke leher karena lebih tinggi. Dan meletakkan tangan sejajar dengan bahu ataupun telinga, memompa getah bening ketiak ke leher. Selain itu, sujud melancarkan peredaran darah hingga dapat mencegah wasir. Sujud dengan cepat tidak bermanfaat. Ia tidak mengalirkan getah bening dan tidak melatih tulang belakang dan otot. Tak heran kalau ada di sebagian sahabat Rasul menceritakan bahwa Rasulullah sering lama dalam bersujud. Selain itu sujud adalah manifestasi ketotalan kita dalam berpasrah diri kepada Allah, bahwa manusia adalah mahluk yang lemah, seorang hamba yang sudah bisa menikmati sholatnya, maka jiwanya dalam titik nol, dalam kondisi yang paling pasrah dan stabil, seseorang yang dilanda stres akan terlepas segala beban di jiwa dalam posisi ini.selain secara fisik otot2 leher yang kaku karena stres akan diulur, sehingga seorang hamba yang beriman dan pandai memaknai sholatnya tidak akan pernah dilanda keputusasaan (Stress)

e. Duduk antara 2 sujud
Duduk di antara dua sujud dapat mengaktifkan kelenjar keringat karena bertemunya lipatan paha dan betis sehingga dapat mencegah terjadinya pengapuran. Pembuluh darah balik di atas pangkal kaki jadi tertekan sehingga darah akan memenuhi seluruh telapak kaki mulai dari mata kaki sehingga pembuluh darah di pangkal kaki mengembang. Gerakan ini menjaga supaya kaki dapat secara optimal menopang tubuh kita.


f. Salam
Gerakan salam yang merupakan penutup sholat, dengan memalingkan wajah ke kanan dan ke kiri bermanfaat untuk menjaga kelenturan urat leher. Gerakan ini juga akan mempercepat aliran getah bening di leher ke jantung.
Sholat Lebih Canggih dari Yoga “Apakah pendapatmu sekiranya terdapat sebuah sungai di hadapan pintu rumah salah seorang di antara kamu dan dia mandi di dalamnya setiap hari lima kali. Apakah masih terdapat kotoran pada badannya?”. Para sahabat menjawab : “Sudah pasti tidak terdapat sedikit pun kotoran pada badannya”. Lalu beliau bersabda : “Begitulah perumpamaan sholat lima waktu. Allah menghapus segala kesalahan mereka”. (H.R Abu Hurairah r.a).
Sangat disayangkan tidak ada universitas yang berani atau sengaja mengembangkan teknik gerakan sholat ini secara ilmiah. Belum lagi manajemen yang terkandung dalam bacaan sholat. Seperti doa iftitah yang berarti mission statement (dalam manajemen strategi). Sedangkan makna bacaan Alfatihah yang kita baca berulang sampai 17 kali adalah objective statement. Tujuan hidup mana yang lebih canggih dibandingkan tujuan hidup di jalan yang lurus, yaitu jalan yang penuh kebaikan seperti diperoleh orang-orang shaleh seperti nabi dan rasul.
Dr. Gustafe le Bond mengatakan bahwa Islam merupakan agama yang paling sepadan dengan penemuan-penemuan ilmiah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan etika sains harus didukung dengan kekuatan iman.
Ajaran Muhammad begitu mulia dan ilmiah, beliau bukan saja dokter ruhani tapi lebih dari itu, adalah seorang dokter modern.pemimpin negara, pemimpin dunia dan akhirat,ahli strategi perang. Meski banyak orang yang membenci,menghina,mencemooh (karena kebodohan dan ketidak tahuan tentangmu) tapi itu semua tidak akan mengurangi kemuliaannya [pen].
( dikutip dari : Tabloid Nurani )
Anantomi Gerakan Wudhu Menurut Pandangan Medis
1. Rahasia Jumlah Tulang Manusia dan Ritual Wudhu
Jumlah tulang manusia dewasa ada 206 ruas (Henry Netter, 1906).Akan tetapi secara embriologis pusat penulangan semasa kehidupan janin dalam kandungan itu ada 350-an pusat penulangan (Leslie Brained Arey, 1934), yang kemudian banyak pusat –pusat penulangan yang menyatu, membentuk tulang dewasa. Bilangan pusat penulangan itu dekat dengan bilangan hari dalam satu tahun. Dalam kajian penulis, didapatkan adanya rahasia matematis tersebut. Ada dua premis (dari hadits dan atsar) :
a. Apabila kamu ditimpa demam satu hari, kemudian kamu bersabar, kamu akan mendapat pahala seperti ibadah satu tahun (Atsar dari Ali bin Abi Thalib)
b. Tiap – tiap ruas tulang anak adam itu ada sedekahnya setiap harinya (HR Bukhari Muslim, termasuk Hadits Arbain)
Dari dua premis tersebut dapat dihubungkan, bahwa tubuh ini mengandung sejumlah tulang yang mendekati bilangan hari dalam setahun. Tulang – tulang penyusun anggota wudhu jumlahnya tertentu,
dikalikan masing – masing dengan jumlah kali pembasuhan pada ritual wudhu, akan menghasilkan sama dengan bilangan keseluruhan jumlah tulang manusia.
Coba kita perhatikan jumlah tulang penyusun bagian – bagian tubuh yang dibasuh saat wudhu :
a. Lengan dan tangan : 30 buah
b. Tungkai dan kaki : 31 buah
c. Wajah : 12 buah
d. Rongga mulut dan hidung : 41 buah
e. Kepala : 12 buah

Bagian tubuh poin a – d dijumlahkan menghasilkan angka 114. Angka tersebut dikalikan 3 oleh karena pembasuhan waktu melakukan wudhu sebanyak 3 kali, menghasilkan angka 342. Poin e tidak dikalikan 3 karena memang hanya dibasuh 1 kali. Angka 342 dijumlahkan dengan 12, didapatkan angka 345, yakni sama dengan jumlah hari dalam 1 tahun hijiriyah, sekaligus sama dengan jumlah seluruh tulang manusia.
2. Wudhu dan Aliran Darah Perifer
Dalam hadits riwayat empat Imam (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad Hambali) diterangkan
“Sempurnakanlah dalam berwudhu dan gosoklah sela – sela jari kalian...” perintah ini secara medis sangat bermakna. Mengapa sela – sela jari yang disebut?, ternyata di bagian itulah berjalan serabut saraf, arteri, vena, dan pembuluh limfe. Penggosokan daerah sela – sela jari itu sudah barang tentu memperlancar
aliran darah perifer (terminal) yang menjamin pasokan makanan dan oksigen. Kita tahu berapa banyak pasien yang mengalami sumbatan aliran darah dan berakibat pembusukan jari – jari. Tidak jarang diantara mereka harus menjalani amputasi.
Selain itu, serabut saraf juga secara langsung distimulasi oleh perbuatan kita menggosok sela – sela jari. Ujung jari sampai telapak tangan adalah bagian yang paling sensitif, karena paling banyak mengandung simpul reseptor saraf. Tiam 1 cm2 kulit di daerah itu, terdapat 120 – 230 ujung saraf peraba.
3. Titik – titik penting terdapat di Anggota Wudhu
Kita dapat memahami bahwa anggota wudhu yang dibasuh adalah bagian – bagian tubuh yang biasanya banyak bersentuhan dengan dunia luar. Bagian – bagian tersebut umumnya tidak tertutup pakaian, abhakan memang menjadi alat kontak tubuh kita dengan lingkungan, sehingga paling banyak mengalami kontaminasi (kotoran), dan oleh karena secara logis paling perlu dibasuh. Inilah aspek higine dalam ritual wudhu.
Disisi lain, daerah ujung lengan (siku ke bawah) dan ujung tungkai
(lutut kebawah) terdapat titik – titik penting dalam akupuntur. Seluruh organ bagian dalam memiliki lima buah titik penting apabila dilakukan stimulasi akam memperbaiki fungsinya. Beberapa gangguan fungsi organ juga bisa dinormalkan dengan cara menstimulasi titik – titik penting tersebut.
“berwudhu dan gosoklah sela – sela jari kalian...”
perintah ini secara medis sangat bermakna. Mengapa sela – sela jari yang disebut?, ternyata di bagian itulah berjalan serabut saraf, arteri, vena, dan pembuluh limfe. Penggosokan daerah sela – sela jari itu sudah barang tentu memperlancar aliran darah perifer (terminal) yang menjamin pasokan makanan dan oksigen. Kita tahu berapa banyak pasien yang mengalami sumbatan aliran darah dan berakibat pembusukan jari – jari. Tidak jarang diantara mereka harus menjalani amputasi.
Selain itu, serabut saraf juga secara langsung distimulasi oleh perbuatan kita menggosok sela – sela jari. Ujung jari sampai telapak tangan adalah bagian yang paling sensitif, karena paling banyak mengandung simpul reseptor saraf. Tiam 1 cm2 kulit di daerah itu, terdapat 120 – 230 ujung saraf peraba.
4. Ear Acupunture
Akupuntur telinga berkembang menjadi suatu cabang spesialis kedokteran di China. Menurut ilmu akupuntur telinga adalah representasi dari tubuh manusia. Bentuk telinga serupa dengan bentuk tubuh saat masih berupa janin yang meringkuk dalam rahim ibu. Kepalanya adalah bagian sering dipasan anting. Daerah lubang adalah rongga tubuh tempat tersimpanya organ – organ dalam. Melakukan stimulasi seperti wudhu akan berpengaruh baik terhadap fungsi organ dalam. Adapun lingkaran luar menggambarkan punggung. Pemijatannya juga seakan – akan melakukan stimulasi daerah punggung dan ruas – ruas tulang belakang.
Ilmu Brain Gym juga menjelaskan gerakan pasang telinga. Caranya, telinga digosok – gosok sendiri dengan lembut, hingga timbul warna kemerahan dan dirasakan dengan sensasi yang lebih hangat. Metode ini menambah konsentrasi dan daya serap belajar anak disekolah. Akibatnya prestasi juga meningkat. Sebaiknya anak – anak diajari untuk melakukan ini secara sadar, saat memulai belajar, baik di sekolah maupun dirumah
· Dirangkum dari Buku Mukjizat Gerakan Sholat oleh dr. Sagiran, M.Kes, Sp.B
· Selengkapnya ada juga ANANTOMI GERAKAN SHOLAT MENURUT PANDANGAN MEDIS
sumber :http://www.smkn3pacitan.sch.id/index.php?option=com_content&view=article&id=118:manfaat-wudhu-dan-sholat-dari-segi-kesehatan-modern&catid=74:keagamaan&Itemid=222 

keajaiban unta

Binatang yang satu ini memang terkenal kuat dan bisa bertahan dalam cuaca yang ekstrim. Unta memang binatang khas padang pasir yang memiliki cuaca yang panas pada siang hari, dan sangat dingin pada malam hari. Pada kesempatan kali ini, anda akan kami berikan informasi mengenai keajaiban unta. Selengkapnya, silahkan anda simak informasi berikut ini dari SituSaja


Berikut ulasan mengenai Keajaiban unta

Lima puluh lima derajat celcius adalah suhu yang panas membakar. Itulah cuaca panas di gurun pasir, daerah yang tampak tak bertepi dan terhampar luas hingga di kejauhan. Di sini terdapat badai pasir yang menelan apa saja yang dilaluinya, dan yang sangat mengganggu pernafasan. Padang pasir berarti kematian yang tak terelakkan bagi seseorang tanpa pelindung yang terperangkap di dalamnya. Hanya kendaraan yang secara khusus dibuat untuk tujuan ini saja yang dapat bertahan dalam kondisi gurun ini.

Kendaraan apapun yang berjalan di kondisi yang panas menyengat di gurun pasir, harus didisain untuk mampu menahan panas dan terpaan badai pasir. Selain itu, ia harus mampu berjalan jauh, dengan sedikit bahan bakar dan sedikit air. Mesin yang paling mampu menahan kondisi sulit ini bukanlah kendaraan bermesin, melainkan seekor binatang, yakni unta.

Unta telah membantu manusia yang hidup di gurun pasir sepanjang sejarah, dan telah menjadi simbul bagi kehidupan di gurun pasir. Panas gurun pasir sungguh mematikan bagi makhluk lain. Selain sejumlah kecil serangga, reptil dan beberapa binatang kecil lainnya, tak ada binatang yang mampu hidup di sana. Unta adalah satu-satunya binatang besar yang dapat hidup di sana. Allah telah menciptakannya secara khusus untuk hidup di padang pasir, dan untuk melayani kehidupan manusia. Allah mengarahkan perhatian kita pada penciptaan unta dalam ayat berikut:

أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ

Artinya : "Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan." (QS. Al-Ghaasyiyah, 88:17)

Jika kita amati bagaimana unta diciptakan, kita akan menyaksikan bahwa setiap bagian terkecil darinya adalah keajaiban penciptaan. Yang sangat dibutuhkan pada kondisi panas membakar di gurun adalah minum, tapi sulit untuk menemukan air di sini. Menemukan sesuatu yang dapat dimakan di hamparan pasir tak bertepi juga tampak mustahil. Jadi, binatang yang hidup di sini harus mampu menahan lapar dan haus, dan unta telah diciptakan dengan kemampuan ini.

Unta dapat bertahan hidup hingga delapan hari pada suhu lima puluh derajat tanpa makan atau minum. Ketika unta yang mampu berjalan tanpa minum dalam waktu lama ini menemukan sumber air, ia akan menyimpannya. Unta mampu meminum air sebanyak sepertiga berat badannya dalam waktu sepuluh menit. Ini berarti seratus tiga puluh liter dalam sekali minum; dan tempat penyimpanannya adalah punuk unta. Sekitar empat puluh kilogram lemak tersimpan di sini. Hal ini menjadikan unta mampu berjalan berhari-hari di gurun pasir tanpa makan apapun.

Kebanyakan makanan di gurun pasir adalah kering dan berduri. Namun sistem pencernaan pada unta telah diciptakan sesuai dengan kondisi yang sulit ini. Gigi dan mulut binatang ini telah dirancang untuk memungkinkannya memakan duri tajam dengan mudah.

Perutnya memiliki disain khusus tersendiri sehingga cukup kuat untuk mencerna hampir semua tumbuhan di gurun pasir. Angin gurun yang muncul tiba-tiba biasanya menjadi pertanda kedatangan badai pasir. Butiran pasir menyesakkan nafas dan membutakan mata. Tapi, Allah telah menciptakan sistem perlindungan khusus pada unta sehingga ia mampu bertahan terhadap kondisi sulit ini. Kelopak mata unta melindungi matanya dari dari debu dan butiran pasir. Namun, kelopak mata ini juga transparan atau tembus cahaya, sehingga unta tetap dapat melihat meskipun dengan mata tertutup. Bulu matanya yang panjang dan tebal khusus diciptakan untuk mencegah masuknya debu ke dalam mata. Terdapat pula disain khusus pada hidung unta. Ketika badai pasir menerpa, ia menutup hidungnya dengan penutup khusus.

Salah satu bahaya terbesar bagi kendaraan yang berjalan di gurun pasir adalah terperosok ke dalam pasir. Tapi ini tidak terjadi pada unta, sekalipun ia membawa muatan seberat ratusan kilogram, karena kakinya diciptakan khusus untuk berjalan di atas pasir. Telapak kaki yang lebar menahannya dari tenggelam ke dalam pasir, dan berfungsi seperti pada sepatu salju. Kaki yang panjang menjauhkan tubuhnya dari permukaan pasir yang panas membakar di bawahnya. Tubuh unta tertutupi oleh rambut lebat dan tebal. Ini melindunginya dari sengatan sinar matahari dan suhu padang pasir yang dingin membeku setelah matahari terbenam. Beberapa bagian tubuhnya tertutupi sejumlah lapisan kulit pelindung yang tebal. Lapisan-lapisan tebal ini ditempatkan di bagian-bagian tertentu yang bersentuhan dengan permukaan tanah saat ia duduk di pasir yang amat panas. Ini mencegah kulit unta agar tidak terbakar. Lapisan tebal kulit ini tidaklah tumbuh dan terbentuk perlahan-lahan; tapi unta memang terlahir demikian. Disain khusus ini memperlihatkan kesempurnaan penciptaan unta.

Marilah kita renungkan semua ciri unta yang telah kita saksikan. Sistem khusus yang memungkinkannya menahan haus, punuk yang memungkinkannya bepergian tanpa makan, struktur kaki yang menahannya dari tenggelam ke dalam pasir, kelopak mata yang tembus cahaya, bulu mata yang melindungi matanya dari pasir, hidung yang dilengkapi disain khusus anti badai pasir, struktur mulut, bibir dan gigi yang memungkinkannya memakan duri dan tumbuhan gurun pasir, sistem pencernaan yang dapat mencerna hampir semua benda apapun, lapisan tebal khusus yang melindungi kulitnya dari pasir panas membakar, serta rambut permukaan kulit yang khusus dirancang untuk melindunginya dari panas dan dingin.

Tak satupun dari ini semua dapat dijelaskan oleh logika teori evolusi, dan kesemuanya ini menyatakan satu kebenaran yang nyata: Unta telah diciptakan secara khusus oleh Allah untuk hidup di padang pasir, dan untuk membantu kehidupan manusia di tempat ini.

Begitulah, kebesaran Allah dan keagungan ciptaan-Nya tampak nyata di segenap penjuru alam ini, dan Pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu. Allah menyatakan hal ini dalam ayat Al-quran:


إِنَّمَا إِلَهُكُمُ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَسِعَ كُلَّ شَيْءٍ عِلْمًا

Artinya : "Sesungguhnya, Tuhanmu hanyalah Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia. Pengetahuan – Nya meliputi segala sesuatu." (QS. Thaahaa, 20:98)

Nah, itulah informasi mengenai keajaiban unta tersebut. Harapan kami semoga saja apa yang telah kami hadirkan kali ini bermanfaat bagi anda semua. 

Kamis, 18 Oktober 2012

dasar hukum perbankan syariah

Dasar Hukum Perbankan Syari’ah (Sistem Perundang-Undangan dalam Berbagai Produk)


A.      Perkembangan Dasar Hukum Perbankan Syariah di Indonesia
Konsep negara hukum yang tercantum dalam konstitusi Indonesia[1] memberikan dampak terhadap subjek hukum baik warga negara atau badan hukum, sehingga setiap perbuatan yang dilakukan oleh subyek hukum wajib memiliki dasar hukum, mengikuti hukum yang berlaku, dan tidak melanggar peraturan-peraturan yang ada. Berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, jenis dan heirarki Peraturan Perundang-Undangan yang dijadikan sumber hukum di Indonesia, baik materiil maupun formil, adalah sebagai berikut:
a.       Undang-Undang Dasar Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b.      Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang
c.       Peraturan Pemerintah
d.      Peraturan Presiden
e.       Peraturan Daerah[2]
Berdasarkan substansi pasal di atas, perbankan syariah dalam menjalankan aktivitasnya wajib menggunakan heirarki Peraturan Perundang-Undangan sebagai dasar hukum serta beberapa peraturan dari instansi tertentu yang terkait secara langsung terhadap bank syariah. Adapun dasar hukum yang menurut kami menjadi dasar dari perbuatan subyek hukum terutama dalam perbankan syari’ah adalah sebagai berikut:
1.        Pancasila
Pancasila tidak dimasukkan dalam heirarki perundang-undangan. Akan tetapi lebih disebut sebagai norma dasar Negara. Pancasila merupakan landasan filosofis dari setiap produk hukum di Indonesia, sehingga semua substansi peraturan yang berada dibawahnya tidak bertentangan dengan setiap silan yang ada. Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan landasan filosofis bagi institusi-institusi keagamaan termasuk juga bank syariah. Secara umum sila ini memberikan pernyataan bahwa negara melindungi setiap warga negaranya dalam menjalankan aktifitas keagamaannya selama tidak bertantangan dengan hukum dan norma-norma sosial, sebagaimana dijabarkan dalam pasal 29 UUD 1945. Selain itu, jika dihubungkan dengan prinsip Islam, sila ini menunjukkan adanya unsur tauhid atau ke-Esa-an Allah SWT. dan sekaligus menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang beragama.
   Bank syariah dan Bank Pembiayaan Masyarakat yang menjalankan usahanya berdasar pada  prinsip ekonomi Islam (fiqh muamalah) memiliki kesempatan yang luas dalam mengembangkan usahanya dengan adanya perlindungan dari negara, sebab usaha ini dapat dikatagorikan dalam praktik peribadatan umat Islam pada bidang ekonomi. Usaha yang mengedepankan prinsip tolong menolong, kejujuran, antaradin, dan keadilan sebagaimana yang diajarkan dalam Islam.
2.        Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 dalam ilmu hukum disebut sebagai sumber dari segala sumber hukum. UUD Tahun 1945 menempati posisi teratas dalam heirarki perundang-undangan sebagaimana yang tedapat pada pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di atas. Peletakan UUD 1945 pada posisi ini disebabkan kedudukannya yang urgen bagi negara, yaitu sebagai salah satu syarat terbentuknya sebuah negara. Menurut Hans Kalsen Undang-Undang Dasar dikategorikan sebagai Grundnormen[3] atau norma dasar yang menjadi payung bagi peraturan-peraturan yang berada dibawahnya. Aturan dasar pada ranah perekonomian terdapat dalam Pasal 33 UUD Tahun 1945 yang berbunyi:
(1)     Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2)     Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3)     Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
(4)     Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(5)     Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini  diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan substansi pasal di atas dapat diketahui bahwa sistem perekonomian di  Indonesia mengacu pada beberapa prinsip, antara lain:
a.       Kebersamaan dan kekeluargaan[4]
b.      Kemakmuran rakyat[5]
c.       Keadilan[6]
d.      Berkelanjutan[7]
e.       kemandirian[8]
Bank Syariah sebagai salah satu pelaku perekonomian memiliki tanggung jawab untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip di atas dalam menjalankan aktivitasnya. Menghimpun dana dari masyarakat kemudian menyalurkannya kepada masyarakat yang membutuhkan untuk meningkatkan kemandirian rakyat dalam berusaha yang berkelanjutan guna  meningingkatkan perekonomian mereka berdasarkan prinsip kekeluargaan.
3.        Undang-Undang No.14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan
Sesungguhnya regulasi perbankan di Indonesia secara sistematis di mulai sejak tahun 1967, yakni dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.14 Tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Perbankan. Akan tetapi dalam Undang-Undang ini tidak ditemukan pasal yang mengatur sistem Perbankan  secara spesifik, terutama yang berkenaan dengan perbankan syari’ah, melainkan mengatur sistem perbankan yang berlaku pada masa itu secara komperehensif, yakni berupa perbankan konvensional.
Adapun sistem perbankan konvensional pada masa ini tidak terlepas dari konsep pemberlakuan bunga. Hal ini disebabkan karena konsep pemberlakuan bunga tersebut telah melekat pada definisi kredit yang di sebutkan dalam Pasal 13 huruf (c) Undang-Undang N0.14 Tahun 1967 yang menyatakan:
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang dapat disamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antara bank dengan lain pihak dalam hal, mana pihak peminjam berkewajiban melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga yang telah ditetapkan.[9] 
            Oleh karena itu pada periode ini, tidak dimungkinkan berdirinya sistem perbankan syari’ah, akan tetapi Undang-Undang inilah yang akan berhubungan dengan kedudukan perbankan syari’ah.
4.        Periode Deregulasi 1 Juni 1983
            Gagasan bank syariah di Indonesia muncul sejak tahun 1980-an oleh beberapa orang praktisi di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis.[10] Di awal tahun 1980-an, sisitem pengendalian tingkat bunga oleh pemerintah mulai mengalami kesulitan. Dan dampak yang muncul adalah:
1.      Bank-bank yang telah didirikan sangat tergantung pada likuiditas Bank Indonesia
2.      Tidak ada persaingan antar bank akibat dari penentuan tingkat bunga oleh pemerintah
Hal tersebut menyebabkan pemerintah kemudian mengeluarkan Deregulasi dibidang perbankan tanggal 1 juni 1983 yang membuka belenggu penetapan tingkat bunga tersebut dengan harapan suatu bank dapat menentukan tingkat bunga sebesar 0%.
Akan tetapi Deregulasi 1 juni 1983 ini tidak menimbulkan suatu dampak yang merupakan penerapan dari sistem perbankan syari’ah melalui perjanjian murni berdasarkan prinsip bagi hasil. Ada beberapa alasan yang menghambat ter-realisasinya Deregulasi tersebut, yakni:
a.       Operasi bank islam yang menerapkan prinsip bagi hasil belum diatur
b.      Deregulasi tersebut tidak sejalan dengan UU Pokok Perbankan N0.14 Tahun 1967[11]
c.       Konsep Bank Islam dianggap berkonotasi ideologis, karena berkaitan dengan Negara Islam, sedangkan Indonesia bukanlah Negara Islam.[12]
Dan pada masa itu Bank Islam belum dapat berdiri, karena bank-bank yang telah ada di Indonesia masih beranggapan bahwa sistem bank tanpa bunga bukanlah sebagai bisnis yang dapat menguntungkan. Oleh karena itu digunakanlah badan hukum koperasi sebagai bentuk hukumnya, sebagai wadah penerapan sistem perbankan syari’ah.

5.        Periode Pakto 1988
Pada tahun 1988, pemerintah memandang perlu untuk membuka peluang bisnis perbankan seluas-luasnya dengan tujuan untuk memobilitasi dana masyarakat untuk menunjang pembangunan. Oleh karena itu dikeluarkanlah Paket Kebijaksanaan Pemerintah Bulan Oktober (PAKTO) pada tanggal 27 1988 yang berisi tentang liberalisasi perbankan yang memungkinkan pendirian bank-bank baru selain bank-bank yang telah ada.[13]
6.      Undang-Undang Nomor 7  Tahun 1992  Tentang Perbankan
Titik terang berdirinya Bank Syariah dimulai sejak diadakannya lokakarya Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dilanjutkan pada Musyawarah Nasional IV MUI pada tahun 1990. Kemudian pada tahun 1991 berdirilah Bank Muamalat Indonesia yang memakai prinsip ekonomi Islam dalam menjalankan aktivitasnya. Secara yuridis keberadaan bank Syariah pertama kali diakui oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pada Pasal 6 huruf (m) menyatakan bahwa :
Bank Umum diperbolehkan untuk menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah
Pasal 13 huruf (c) yang menyatakan bahwa:
Bank perkreditan Rakyat dapat menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai  dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah;[14]
 Berdasarkan pasal di atas, diketahui bahwa sistem bagi hasil yang ada dalam konsep ekonomi Islam sudah mulai diperhatikan, namun nama bank syariah sendiri belum diatur dalam undang-undang ini.
7.        Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum
Peraturan Pemerintah  Nomor 70 Tahun 1992  adalah peraturan operasional dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Di dalam Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah ini disebutkan mengenai bank bagi hasil, yakni:
Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil, dalam rancangan anggaran dasar dan rencana kerja harus secara tegas mencantumkan kegiatan usaha bank yang semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil.
Tidak ada pasal lain dalam peraturan pemerintah ini yang mengatur mengenai bank yang menjalankan prinsip bagi hasil dalam aktivitasnya.

8.        Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat
Sama halnya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum, hanya ada satu pasal yang mengatur tentang bank perkreditan yang menjalankan prinsip bagi hasil yaitu Pasal 6 ayat (2) yang berbunyi:
Bank Perkreditan Rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil, harus secara tegas mencantumkan kegiatan usaha bank yang semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil dalam rancangan anggaran dasar dan rencana kerjanya.[15]
9.        Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 telah secara spesifik mengatur mengenai bank berdasarkan prinsip bagi hasil, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2) sebagai berikut:
Pasal 1
(1)          Bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil.
(2)          Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib memenuhi ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat serta peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat.
Pada dua Peraturan Pemerintah sebelumnya tidak dijelaskan dasar hukum dari prinsip bagi hasil yang dimaksud di dalamnya, baru kemudian pada Pasal 2  Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 dijelaskan bahwasannya dasar dari prinsip bagi hasil tersebut adalah Syari'at (hukum) Islam.[16]
Kejanggalan yang terjadi pada pasal 2 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 adalah dimana bank menetapkan imbalan yang akan diberikan kepada masyarakat sehubungan dengan penggunaan/pemanfaatan dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya. Hal ini bertentangan dengan logika bahwa orang yang meminjamkan atau menyediakan dana memberikan imbalan kepada siapapun yang meminjam dana atau menggunakan dana darinya.[17] Sedangkan munculnya Dewan Pengawas Syariah dalam bank yang menjalankan prinsip bagi hasil beserta siapa yang berhak membentuknya dan apa saja fungsi dewan pengawas tersebut, disebutkan dalam:
Pasal 5
(1)          Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syari'at yang mempunyai tugas melakukan pengawasan atas produk perbankan dalam menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat agar berjalan sesuai dengan prinsip Syari'at.
(2)          Pembentukan Dewan Pengawas Syari'at diiakukan oleh Bank yang bersangkutan berdasarkan hasil konsultasi dengan lembaga yang menjadi wadah para ulama Indonesia.
(3)          Dalam melaksanakan tugasnya Dewan Pengawas Syariat berkonsultasi dengan lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Dan larangan untuk menjalankan dual-banking system yang menjadikan kerancuan atau tidak jelasnya sistem yang digunakan, sebagaimana diatur pada pasal 6 dan 7 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992:
Pasal 6
(1)          Bank Umum atau bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil
(2)          Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.[18]
Pasal 7
(1)          Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang telah melakukan kegiatan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini tetap dapat melakukan kegiatan usahanya, dan wajib memenuhi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
(2)          Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan dengan tembusan kepada Bank Indonesia untuk memperoleh penyesuaian izin usaha.
10.    Undang-undang Nomor  10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Pada tahun 1998, undang-undang nomor Nomor 7  Tahun 1992  dicabut dan diganti dengan Undang-undang Nomor  10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Perubahan-perubahan yang ada dalam substansi undang-undang perbankan memberikan peluang yang lebih besar kepada bank syariah untuk berkembang. Adapun tujuan dikembangnya sistem perbankan syariah antara lain:
1.      Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak menerima konsep bunga
2.      Membuka peluang bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan (mutual investor relationship)
3.      Meniadakan pembebana bunga yang berkesinambungan dan pembiayaan usaha berbasis moral.[19]
Undang-undang ini memberikan penegasan terhadap konsep perbankan Islam dengan mengubah penyebutan “Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil” pada Undang-Undang  Nomor 7 Tahun 1992 menjadi “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”. Penyebutan ini terdapat pada:
Pasal 1 ayat (3)
Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran;
Pasal 1 ayat (4)
Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran;
Pasal 1 ayat (12)
Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil; 
Pasal 1 ayat (13)
Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi  hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina); 
Selain kejelasan prinsip, undang-undang ini juga telah membahas cara penyeluran dana yang sesuai dengan pokok-pokok ekonomi Islam seperti mudharabah, ijarah, murabahah, musyarakah, atau ijarah wa iqtina.
Pengaturan lebih lanjut terhadap bank Syari’ah ini ditindak lanjuti oleh BI dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Direksi BI Pada tanggal 12 Mei 1999 yakni:
1.      Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum, khususnya Bab XI mengenai Perubahan Kegiatan Usaha dan Pembukaan Kantor Cabang Syariah;
2.      Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah ; dan
3.      Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.[20]
Beberapa Surat Keputusan Direktur BI tersebut semakin memantapkan keberadaan bank syari’ah. Beberapa produk syar’i siap dioperasionalisakasn dengan payung hukum yang jelas. Bank-bank konvensional dapat membuka cabang syari’ah dengan leluasa, selama memenuhi persyaratan. Demikian juga, jika bank syari’ah akan dipraktekkan dengan bentuk BPR, maka keluarnya Surat Keputusan tersebut merupakan payung hukumnya.
Kemudian untuk mengatur kelancaran lintas pembayaran antar bank serta pelaksanaan Pasar Uang antar bank Berdasarkan Prinsip Syari’ah (PUAS), telah dikeluarkan peraturan sebagai berikut:
1.      Peraturan Bank Indonesia No. 2/4/PBI/2000 tanggal Februari 2000 tentang Kliring bagi Bank Umum Syari’ah dan Unit Usaha Syari’ah Bank Umum Konvensional.
2.      Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Giro Wajib Minimum (GWM), yang kemudian            khusus tentang Perbankan Syari’ah diatur lebih lanjut oleh PBI No.6/21/PBI/2004 tentang  Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum yang melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarakan Prinsip Syari’ah.
3.      Peraturan Bank Indonesia No.2/8/2000 Tanggal 23 Februari 2000 tentang Pasar Uang antar bank berdasarkan Prinsip Syari’ah.
4.      Peraturan Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI).[21]
5.      Peraturan Bank Indonesia No. 5/3/PBI/2003 tanggal 4 Februari 2003 tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Islam (FPJPS).[22]
Munculnya peraturan-peratuan di atas, kemudian ditinjaklanjuti oleh tugas dan wewenang BI dalam menegakkan aturan di atas, dengan dimunculkannya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UUBI). Pasal 10 ayat (2) UUBI memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk menggunakan cara-cara berdasarkan prinsip syariah dalam melakukan pengendalian moneter. Kemudian Pasal 11 ayat (1) UUBI juga memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek suatu Bank dengan memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Dengan demikian, UUBI sebagai undang-undang bank sentral yang baru secara hukum positif telah mengakui dan memberikan tempat bagi penerapan prinsip-prinsip syariah bagi Bank Indonesia dalam melakukan tugas dan kewenangannya.
11.    Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Undang-undang yang secara spesifik mengatur tentang perbankan syariah adalah Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008. Undang-undang ini muncul setelah perkembangan perbankan syariah di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan. Pada bab I pasal 1 yang berisi tentang Ketentuan Umum undang-undang ini telah membedakan secara jelas antara bank kovensional beserta jenis-jenisnya dengan bank syariah beserta jenis-jenisnya pula. Perbedaan penyebutan pun telah dibedakan sebagaimana diatur dalam pasal 1 poin ke-6 yang menyebut “Bank Perkreditan Rakyat” sedangkan poin ke-9 menyebutkan dengan “Bank Pembiayaan Rakyat”.
Usaha Bank Syariah dalam menjalankan fungsinya adalah menghimpun dana dari nasabah dan menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad-akad yang terdapat dalam ekonomi Islam. Seperti mudharabah, wadi’ah, masyarakah, murabahah, atau akad-akad lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
12.    Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Selain dasar hukum yang telah disebutkan di atas, landasan hukum Islam yang dimaksud dalam perbankan syariah adalah fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga tertentu yang berwenang sebagaimana yang diatur pada pasal 1 poin ke-12 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008:
Prinsip  Syariah  adalah  prinsip  hukum  Islam  dalam kegiatan  perbankan  berdasarkan  fatwa  yang  dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.  
Meskipun tidak disebutkan secara langsung, undang-undang memberikan Dewan Syariah Nasional MUI sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa sekaligus berwenang merekomendasikan Dewan Pengawas Syariah yang ditempatkan pada bank-bank syariah dan unit usaha syariah.  Dan fatwa MUI belum memiliki kekuatan hukum yang cukup jika tidak dikonversi ke dalam peraturan yang termasuk dalam heirarki perundang-undangan. Akan tetapi fatwa tersebut termasuk dalam doktrin hukum yang bisa dipakai jika pencari fatwa sepakat dengan pendapat mufti. 
MUI sebagai salah satu lembaga yang dipercaya oleh Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah unruk mengeluarkan acuan berupa fatwa, telah mengeluarkan kurang lebih 43 fatwa terkait dengan perbankan syariah. Di antaranya adalah fatwa tentang giro dengan menggunakan sistem wadhi’ah, yaitu pada fatwa DSN No.01/DSN-MUI/IV/2000. Pada fatwa ini, giro yang berdasarkan Wadhi’ah ditentukan bahwa:
1.      Dana yang disimpan pada bank adalah bersifat titipan
2.      Titipan (dana) ini bias diambil kapan saja (on call)
3.      Tidak ada imbalan yang disyaratkan kecuali dalam bentuk pemberian yang bersifat sukarela dari pihak bank[23]
Meskipun demikian, kedudukan fatwa lebih cocok jika dikategorikan sebagai doktrin hukum yang tidak terlalu kuat jika dijadikan sumber rujukan untuk membuat suatu hukum apabila tidak dikonversi menjadi salah satu jenis produk hukum yang terdapat dalam heirarki perundang-undangan.
13.         Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa beberapa perubahan yang signifikan terhadap kedudukan dan eksistensi peradilan agama di Indonesia. Kewenangan absolut dari peradilan agama mengalami perluasan, yakni pengadilan agama berwenang menangani permasalahan ekonomi syariah yang meliputi perbankan syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, dan beberapa masalah ekonomi Islam lainnya.  
Perkembangan ini menuntut Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan yang terkait dengan permasalahan ekonomi Islam. Pada tanggal 10 September 2008 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. PERMA ini adalah sarana memperlancar dalam pemeriksaan dan penyelesasian sengketa ekonomi syariah sekaligus pedoman bagi hakim mengenai hukum ekonomi berdasarkan prinsip Islam, sebagaimana terdapat di dalam konsiderannya.Penyusunan KOHES ini tidak bisa terlepas dari sejumlah rujukan baik dari beberapa kitab fiqh, fatwa-fatwa DSN MUI, dan peraturan BI tentang Perbankan Syariah.
Beberapa peraturan yang dapat dijadikan acuan secara khusus dalam pelaksanaan perekonomian Islam khususnya perbankan syariah terdapat pada Buku II KOHES
a.              Mudharabah (Pasal 231 sampai pasal 254)
Peranan bank Syariah di dalam KOHES hanya sebagai perantara antara pemilik modal (shahib al-mal) dengan pelaku usaha (mudharib). Hal ini disebankan tidak adanya klausul yang menyatakan bahwa bank syariah memiliki wewenang sebagai pelaku usaha. Atau dengan kata lain bank berfungsi sebagai mediator dalam terjadinaya akad mudharabah, memeriksa kelayakan dari penerima modal, dan melakukan pengawasan terhadap jalannya usaha. Permasalahan ini sejalan dengan tugas dari bank syariah, yaitu menghimpun dana dan menyalurkan pembiayaan kepada masyarakat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
b.             Wadhi’ah (Pasal 414 sampal pasal 434)
Dalam permasalahan wadhi’ah, bank syariah berfungsi sebagai sarana atau tempat dari shahib al-mal untuk menitipkan hartanya. Pada pasal 418 pasal (1) KOHES dinyatakan bahwa terdapat dua akad wadh’iah. Pertama, wadhi’ah amanah dimana penerima titipan tidak diperkenankan menggunakan barang titipan kecuali ada ijin dari penitip. Kedua, wadhi’ah dhammanah dimana penerima titipan diperkenankan menggunakan barang titipan tanpa seijin penitip. Apabila akad yang kedua yang digunakan oleh bank syariah dalam melakukan penghimpunan dana masyarakat, maka modal yang terhimpun dapat dikembangkan untuk melakukan pembiayaan operaasional bank syariah. Pasal 419 menyatakan bahwa dalam akad wadhi’ah dhammanah penerima titipan boleh memberikan imbalan secara sukarela kepada penitip. Menurut penulis, imbalan yang dimaksud adalah bentuk ungkapan terima kasih, bentuk komitmen, dan memperkuat kepercayaan masyarakat kepada bank syariah. Namun, adanya imbalan ini tidak bisa dipersyaratkan pada saat akad.
B.       Penerapan Akad pada Perbankan Syari’ah
Akad adalah suatu pertalian antara ijab dan Kabul yang dibenarkan oleh syara’yang menimbulkan akibat hokum terhadap objeknya. Sedangkan Ijab adalah suatu pernyataan dari seseorang yakni pihak pertama untuk menawarkan sesuatu. Dan Kabul adalah suatu pernyataan dari seseorang yakni pihak kedua untuk menerima atau mengabulkan tawaran dari pihak pertama.[24]
Dalam perbankan syari’ah akad yang dilakukan adalah berdasarkan hukum islam. Ada beberapa asas al-‘uqud yang harus dilindungi dan dijamin dalam wadah Undang-Undang Perbankan Syari’ah. Adapun asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Aasas Ridha’iyyah (asas rela sama rela)[25]
2.      Asas Manfaat[26]
3.      Asas Keadilan,[27] dan;
4.      Asas Saling Menguntungkan[28]
Jika di dalam hukum islam disebutkan bahwasannya rukun dan syarat dari perikatan islam adalah harus adanya:
c.       Al-Aqidain (Subyek Perikatan)
d.      Mahallul ‘Aqd (Obyek Perikatan)
e.       Maudhu’ul ‘Aqd (Tujuan Perikatan)
f.       Sighat al-‘Aqd
Maka, kegiatan usaha pada perbankan syari’ah harus berlandaskan rukun dan syarat yang telah disebutkan di atas, meskipun pada dasarnya kegiatan usaha pada perbankan syari’ah adalah tunduk pada Undang-Undang No.7 Tahun 1992, Undang-Undang No.10 Tahun 1998, ataupun pada Undang-Undang No.21 Tahun 2008.
Dalam kegiatan Wadhi’ah[29] Perbankan Syari’ah menggunakan akad Wadhi’ah Yad Dhamanah[30] yang mana hasil keuntungan dari pengelolaan dana tersebut adalah milik bank, namun kerugian yang dialami harus ditanggung oleh bank, karena nasabah memperoleh jaminan perlindungan atas dananya.[31] Dasar hukum akad Wadhi’ah di dalam hukum islam terdapat dalam QS: al-Baqarah: 283 dan Hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani bahwa:”Dari Ibnu Umar berkata bahwasannya Rasulullah SAW. Telah bersabda “Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tidak bersuci”. Dan akad Wadhi’ah Yad Dhamanah ini diaplikasikan dalam tabungan dan giro.
B.1       WADI’AH DHAMANAH DAN QARDH
Pada sub pembahasan ini akan diulas tentang wadi’ah dan qaradh.
1. Wadi’ah
a.       Pengertian Wadi`ah
Menurut bahasa adalah berasal dari akar kata Wada`a yang berarti meninggalkan atau titip.  Sesuatu yang dititipkan baik harta, uang maupun pesan atau amanah. Jadi wadi`ah adalah titipan atau simpanan. Pengertian wadi`ah menurut Syafii Antonio (1999) adalah titipan murni dari satu pihak kepihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja sipenitip mengkehendaki[32]. Menurut Bank Indonesia (1999) adalah akad penitipan barang atau uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta keutuhan barang atau uang.
b.      Rukun Wadi’ah
·         Harta benda, yaitu biasanya harta yang bergerak, dalam bank konvensional tempat penyimpanannya dikenal dengan Safety Box sutu tempat/kotak dimana nasabah bisa menyimpan barang apa saja kedalam kotak tersebut.
·         Uang, sebagaimana yang telah kita lakukan pada umumnya.
·         Dokumen (Saham, Obligasi, Bilyet giro, Surat perjanjian Mudhorobah dll)
·         Barang berharga lainnya (surat tanah, surat wasiat dll yang dianggap berharga mempunyai nilai uang)
c.       Wadi`Ah Yad Adh-Dhamanah
Wadi`Ah Yad Adh-Dhamanah adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa ijin pemilik barang/uang, dapat memanfaatkannya dan bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan tersebut. Sesuai dengan hadis Rasulullah SAW:
“Diriwayatkan dari Abu Rafie bahwa Rasulullah SAW pernah meminta seseorang untuk meminjamkannya seekor unta.   Maka diberinya unta qurban (berumur sekitar dua tahun), setelah selang beberapa waktu, Rasulullah SAW memrintahkan Abu Rafie untuk mengembalikan unta tersebut kepada pemiliknya, tetapi Abu Rafie kembali kepada Rasulullah SAW seraya berkata,” Ya Rasulullah, unta yang sepadan tidak kami temukan, yang ada hanya unta yang besar dan berumur empat tahun. Rasulullah SAW berkata “Berikanlah itu karena sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang terbaik ketika membayar.” (H.R. Muslim) [33]
2. Qardh
a.   Pengertian Qardh
Qardh menurut bahasa berarti pinjaman atau hutang. Sedangkan menurut istilah syara ialah menyerahkan harta milik, baik berupa uang, emas, atau bentuk yang lain kepada seseorang sebagai modal usaha kerja dengan harapan akan mendapatkan keuntungan, dan keuntungan tersebut dibagi dua menurut perjanjian ketika akad [34].
b.   Rukun Qardh
·         Modal pokok
·         Memiliki modal
·         Pekerja
·         Lapangan kerja
·         Laba
·         Ijab dan qabul
3. Hubungan Wadi’ah dengan Qardh
Wadi`ah dalam presfektif pelaksanaan perbankan islam hampir bersamaan dengan al-qardh yaitu pemberian harta atas dasar sosial untuk dimanfaatkan dan harus dibayar dengan sejenisnya.  Keduanya sama-sama akad tabarru yang jadi perbedaan terdapat pada orang yang terlibat didalmnya dimana dalam wadi`ah pemberi jasa adalah mudi`, sedangkan dalam al-qardh pemberi jasa adalah muqridh (pemberi pinjaman). Jadi mirip seperti yang dilakukan Zubair bin Awwam ketika menerima titipan uang di zaman Rasulullah SAW [35].
Dalam akad Mudharabah[36], akad ini diaplikasikan dalam deposito dan tabungan. Dalam hal ini antara bank dan nasabah penyimpan, telah melakukan kesepkatan di awal akad mengenai nisbah bagi hasil. Dan dana nasabah yang disimpan di bank, akan dikelola oleh bank untuk mendapatkan keuntungan. Dan hasil pengelolaan tersebut akan dibagi antara bank dan nasabah. Dan dasar hukum islam dari pelaksanaan Murabahah tersebut, terdapat dalam QS: al-Baqarah: 275 dan Hadits riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah Dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “ Sesungguhnya jual-beli itu harus dilakukan suka sama suka.”[37]
B.2        REVENUE SHARING DAN PRIVITE SHARING
Dalam system bagi hasil terdapat dua metode yang dapat diterapkan yaitu;
a.      Revenue sharing
Revenue sharing adalah kegiatan bagi hasil dengan membagikan laba kotor sebagai penerapannya.
b.      Profit sharing
Profit sharing adalah kegiatan bagi hasil dengan membagikan laba bersih sebagai penerapannya.
Dalam fikih klasik disebutkan bahwa dalam proses bagi hasil , yang  dibagikan adalah keuntungan atau laba (pendapatan dikurangi biaya), tetapi dalam praktik perbankan syariahnya yang dibagikan adalah Revenue (laba kotor) karena sulit untuk menemukan kesepakatan tentang biaya-biaya yang dikeluarkan nasabah. Sepintas seakan-akan praktik bagi hasil yang diterapkan oleh perbankan syariah ini menyalahi aturan fikih klasik, namun hal ini dilakukan tidak lain hanya untuk memudahkan proses bagi hasil tanpa berbelit-belit, sehingga kedua pihak (bank dan nasabah) dapat diuntungkan dengan segera dan laba dapat dengan cepat di bagikan pada para nasabah tanpa harus menunggu proses yang lama [38].


[1] Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun  1945
[2] Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53
[3] Ishaq, Dasar-dasar Ilmu Hukum (Jakarta:Sinar Grafika, 2008), Hlm. 100
[4]Dalam menjalankan usaha membangun perekonomian negara dibutuhkan kerjasama dari semua elemen masyarakat dan berpegang teguh pada etika bisnis yang baik sehingga suasana kekeluargaan dapat terbentuk dengan baik yang pada akhirnya diharapkan mampu mengatasi kesenjangan-kesenjangan atau konflik-konflik yang muncul akibat kegiatan perekonomian.
[5] Perekonomian yang diusahakan oleh semua pihak diharapkan mampu membawa rakyat pada tingkatan hidup yang lebih baik. Prinsip ini menuntut para pelaku perekonomian menjalankan usahanya untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan bukan hanya meningkatkan kesejahteraan pribadi. Beberapa dampak yang diharapkan muncul ketika kondisi perekonomian mengalami kemajuan adalah berkurangnya angka kemiskinan, keterbelakangan, buta huruf dan atau putus sekolah, dan pengangguran.
[6] Usaha perekonomian diharapkan memberikan keadilan yang proporsional terhadap para pelaku atau orang-orang yang terkait di dalamnya.
[7] Usaha perekonomian diharapkan memberikan keadilan yang proporsional terhadap para pelaku atau orang-orang yang terkait di dalamnya. Selain meningkatkan kesejahteraan, usaha yang dibentuk oleh para pelaku perekonomian juga diproyeksikan mampu bertahan dan berkembang ditengah fluktuasi perekonomian nasional maupun global.
[8] Usaha perekonomian diharapkan mampu membentuk kemandirian dari masyarakat untuk membentuk usaha-usaha baru guna meningkatkan taraf hidup.
[9] Wirdyaningsih, “Bank dan Asuransi Islam di Indonesia”, (Jakarta: Kencana, 2005), Hal: 58
[10] Umar Farouk, Sejarah Hukum Perbankan Syari'ah di Indonesia, www.inlawnesia.net, diakses tanggal 28 februari 2010
[11] Yang dimaksud dengan tidak sejalan dalam hal ini adalah Deregulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pada 1 Juni 1983 yang mana pemerintah ingin membuka belenggu penetapan tingkat bunga bank yang secara jelas disebutkan dalam UU N0.14 Tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Perbankan Pasal 13 huruf (c), dengan tujuan dengan dibukanya belenggu penetapan tingkat bunga dalam suatu bank, maka dapat dimungkinkan suatu bank bisa mementapkan tingkat bunga sebesar 0% dengan kata lain tidak ada bunga dalam suatu bank, melainkan sistem perbankan syari’ah dengan prinsip bagi hasil-lah yang digunakan. Pengoperasionalan bank pada masa itu (masa diberlakukannya UU No.14 Tahun 1967) yang digunakan adalah sistem kredit yang mana pengertian kridit sendiri tidak terlepas dari penetapan jumlah bunga dalam suatu bank. Maka disinilah letak ketidak sesuaian antara UU No.14 Tahun 1967 yang dianggap lebih berimplikasi pada perbankan konvensional dengan Deregulasi 1 Juni yang dikeluarkan oleh pemerintah yang dianggap lebih berimplikasi pada system perbankan syari’ah.
[12] Wirdyaningsih, Op.Cit, Hal: 60
[13] Ibid., Hal: 61
[14] Gemala Dewi, “Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Peraqnsurasian Syari’ah di Indonesia”, (Jakarta: Kencana, 2007), Hal: 169
[15] Ibid., Hal: 171
[16] Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992
(1)  Prinsip bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) adalah prinsip bagi hasil berdasarkan Syari'at yang digunakan oleh bank berdasarkan prinsip bagi hasil dalam:
a.     menetapkan imbalan yang akan diberikan kepada masyarakat sehubungan dengan penggunaan/pemanfaatan dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya;
b.     menetapkan imbalan yang akan diterima sehubungan dengan penyediaan dana kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan baik untuk keperluan investasi maupun modal kerja;
c.   menetapkan imbalan sehubungan dengan kegiatan usaha lainnya yang lazim dilakukan oleh bank dengan prinsip bagi hasil.
(2) Pengertian prinsip bagi hasil dalam penyediaan dana kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, termasuk pula kegiatan usaha jual beli.
[17] Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992
Penetapan besarnya bagi hasil antara bank berdasarkan prinsip bagi hasil dengan nasabahnya didasarkan pada kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian tertulis antara kedua belah pihak.
Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992
Dalam menyediakan dana bagi nasabah, bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah dalam menyelesaikan kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan.
[18] Wirdyaningsih, Op.Cit, Hal: 63
[19] Ibid., Hlm: 65
[20] Ibid., Hlm: 67
[21] yakni sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip Wadi’ah yang merupakan piranti dalam pelaksanaan pengendalian moneter semacam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam praktek perbankan konvensional.
[22] Ibid., Hlm: 69
[23] Ibid,. Hal: 129
[24] Ibid,. Hal: 114-115
[25] Asas ridha’iyah adalah suatu asas yang dijadikan dasr dalam  suatu transaksi yang dilakukan oleh perbankan dengan nasabah dalam bentuka apapun yang mana asas tersebut berupa prinsip rela sama rela. Asas ini menekankan adanya kesempatan yanmg sama bagi para pihak yang melakukan suatu transaksi. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu kejelasan dalam pernyataan kehendak, adanya kesesuaian antara penawaran dan penerimaan dan adanya komunikasi antara pihak yang bertransaksi. Misalnya, seseorang yang melakukan peminjaman uang di suatu bank dengan jumlah Rp. 1.000.000. Dalam pengembaliannya peminjam dikenakan bunga 25% dari jumlah uang yang dipinjam dengan jangka waktu lima bulan, padahal dalam awal transaksi, peminjam tidak akan dikenakan bunga. Oleh karena hal tersebut peminjam merasa dirugikan oleh pihak bank. Maka ketidak relaan dari peminjam inilah yang tidak sesuai dengan asas ridha’iyah dalam suatu transaksi.
[26] Asas manfaat adalah asas dalam akad yang dilakukan oleh bank dengan nasabah terkait dengan objek yang bermanfaat bagi kedua belah pihak. Dalam hal ini bentuk transaksi yang dilakukan adalah atas dasar pertimbangkan mendatangkan manfaat dan menghindari madharat dalam hidup masyarakat. Misalnya, dalam praktek jual beli seseorang tidak diperbolehkan untuk menjual ganja atau narkotika dengan alasan benda tersebut lebih banyak mengandung kemadharatan daripada unsure manfaatnya.
[27] Asas keadilan berarti segala bentuk transaksi yang mengandung unsur adil tidak mengandung unsur penindasan. Misalnya, Utang piutang dengan tanggungan barang, yang mana jika dalam jangka waktu tertentu utang tidak dibayar, maka barang yang ditanggungkan tadi menjadi milik piutang, padahal barang yang ditanggungkan tersebut nilainya lebih tinggi dari pada utang yang harus dibayar. Maka dalam contoh tersebut tidkalah ada unsure keadilan didalamnya. Dan bias dikatakan adil jika barang yang ditanggungkan sama nilainya dengan utang yang harus dibayar.
[28] Dalam hal ini, akad yang dilakukan harus saling menguntungkan semua pihak yang berakad. Misalnya transaksi jual beli yang dilakukan oleh seorang penjual jeruk dengan pembelinya yang mana harga yang ditawarkan oleh penjual dianggap sesuai oleh si pembeli. Dengan demikian maka tidak ada rasa kerugian diantara keduanya, akan tetapi sebaliknya mereka saling mendapat keuntungan.
[29] Wadhi’ah adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang (muwaddi’) dengan pihak yang diberi kepercayaan (mustawda’) dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan uang/barang.
[30] Wadhi’ah Yad Dhamanah adalah penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilim barang/uang dapat memanfaatkan barang/uang titipan dan harus bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan.
[31] Ibid,. Hal: 127
[32] Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah dari Teori ke Praktek. (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal 35
[33] Ibid, hal: 54
[35] Muhammad Firdaus, Fatwa-Fatwa Ekonomi Syari’ah Kontemporer, (Jakrta: Renaisan, 2005)
[36] Mudharabah adalah akad antara pihak pemilik modal denga pengelola untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan.
[37] Ibid,. Hal: 130
sumber : http://dhitamenulis.blogspot.com/2011/03/dasar-hukum-perbankan-syariah-sistem.html