Dasar Hukum Perbankan Syari’ah (Sistem Perundang-Undangan dalam Berbagai Produk)
A. Perkembangan Dasar Hukum Perbankan Syariah di Indonesia
Konsep negara hukum yang tercantum dalam konstitusi Indonesia memberikan dampak terhadap subjek hukum baik warga negara atau badan hukum, sehingga setiap perbuatan yang dilakukan oleh subyek hukum wajib
memiliki dasar hukum, mengikuti hukum yang berlaku, dan tidak melanggar
peraturan-peraturan yang ada. Berdasarkan pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, jenis dan heirarki Peraturan Perundang-Undangan yang dijadikan sumber hukum di Indonesia, baik materiil maupun formil, adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang
c. Peraturan Pemerintah
d. Peraturan Presiden
Berdasarkan
substansi pasal di atas, perbankan syariah dalam menjalankan
aktivitasnya wajib menggunakan heirarki Peraturan Perundang-Undangan
sebagai dasar hukum serta beberapa peraturan dari instansi tertentu yang
terkait secara langsung terhadap bank syariah. Adapun
dasar hukum yang menurut kami menjadi dasar dari perbuatan subyek hukum
terutama dalam perbankan syari’ah adalah sebagai berikut:
1. Pancasila
Pancasila tidak dimasukkan dalam heirarki perundang-undangan. Akan tetapi lebih disebut sebagai norma
dasar Negara. Pancasila merupakan landasan filosofis dari setiap produk
hukum di Indonesia, sehingga semua substansi peraturan yang berada
dibawahnya tidak bertentangan dengan setiap silan yang ada. Sila
Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan landasan filosofis
bagi institusi-institusi keagamaan termasuk juga bank syariah. Secara
umum sila ini memberikan pernyataan bahwa negara melindungi setiap warga
negaranya dalam menjalankan aktifitas keagamaannya selama tidak
bertantangan dengan hukum dan norma-norma sosial, sebagaimana dijabarkan
dalam pasal 29 UUD 1945. Selain itu, jika dihubungkan dengan prinsip
Islam, sila ini menunjukkan adanya unsur tauhid atau ke-Esa-an Allah
SWT. dan sekaligus menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang
beragama.
Bank syariah dan Bank Pembiayaan Masyarakat yang menjalankan usahanya berdasar pada prinsip ekonomi Islam (fiqh muamalah)
memiliki kesempatan yang luas dalam mengembangkan usahanya dengan
adanya perlindungan dari negara, sebab usaha ini dapat dikatagorikan
dalam praktik peribadatan umat Islam pada bidang ekonomi. Usaha yang
mengedepankan prinsip tolong menolong, kejujuran, antaradin, dan keadilan sebagaimana yang diajarkan dalam Islam.
2. Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Undang-Undang
Dasar (UUD) Tahun 1945 dalam ilmu hukum disebut sebagai sumber dari
segala sumber hukum. UUD Tahun 1945 menempati posisi teratas dalam
heirarki perundang-undangan sebagaimana yang tedapat pada pasal 7 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan di atas. Peletakan UUD 1945 pada posisi ini
disebabkan kedudukannya yang urgen bagi negara, yaitu sebagai salah satu
syarat terbentuknya sebuah negara. Menurut Hans Kalsen Undang-Undang
Dasar dikategorikan sebagai Grundnormen
atau norma dasar yang menjadi payung bagi peraturan-peraturan yang
berada dibawahnya. Aturan dasar pada ranah perekonomian terdapat dalam
Pasal 33 UUD Tahun 1945 yang berbunyi:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian
nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan
substansi pasal di atas dapat diketahui bahwa sistem perekonomian di
Indonesia mengacu pada beberapa prinsip, antara lain:
a. Kebersamaan dan kekeluargaan
Bank
Syariah sebagai salah satu pelaku perekonomian memiliki tanggung jawab
untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip di atas dalam menjalankan
aktivitasnya. Menghimpun dana dari masyarakat kemudian menyalurkannya
kepada masyarakat yang membutuhkan untuk meningkatkan kemandirian rakyat
dalam berusaha yang berkelanjutan guna meningingkatkan perekonomian
mereka berdasarkan prinsip kekeluargaan.
3. Undang-Undang No.14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan
Sesungguhnya
regulasi perbankan di Indonesia secara sistematis di mulai sejak tahun
1967, yakni dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.14 Tahun 1967 Tentang
Pokok-Pokok Perbankan. Akan tetapi dalam Undang-Undang ini tidak
ditemukan pasal yang mengatur sistem Perbankan secara spesifik,
terutama yang berkenaan dengan perbankan syari’ah, melainkan mengatur
sistem perbankan yang berlaku pada masa itu secara komperehensif, yakni
berupa perbankan konvensional.
Adapun
sistem perbankan konvensional pada masa ini tidak terlepas dari konsep
pemberlakuan bunga. Hal ini disebabkan karena konsep pemberlakuan bunga
tersebut telah melekat pada definisi kredit yang di sebutkan dalam Pasal
13 huruf (c) Undang-Undang N0.14 Tahun 1967 yang menyatakan:
Kredit
adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang dapat disamakan dengan
itu berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antara bank dengan lain
pihak dalam hal, mana pihak peminjam berkewajiban melunasi hutangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga yang telah ditetapkan.
Oleh
karena itu pada periode ini, tidak dimungkinkan berdirinya sistem
perbankan syari’ah, akan tetapi Undang-Undang inilah yang akan
berhubungan dengan kedudukan perbankan syari’ah.
4. Periode Deregulasi 1 Juni 1983
Gagasan
bank syariah di Indonesia muncul sejak tahun 1980-an oleh beberapa
orang praktisi di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam
Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Di
awal tahun 1980-an, sisitem pengendalian tingkat bunga oleh pemerintah
mulai mengalami kesulitan. Dan dampak yang muncul adalah:
1. Bank-bank yang telah didirikan sangat tergantung pada likuiditas Bank Indonesia
2. Tidak ada persaingan antar bank akibat dari penentuan tingkat bunga oleh pemerintah
Hal
tersebut menyebabkan pemerintah kemudian mengeluarkan Deregulasi
dibidang perbankan tanggal 1 juni 1983 yang membuka belenggu penetapan
tingkat bunga tersebut dengan harapan suatu bank dapat menentukan
tingkat bunga sebesar 0%.
Akan
tetapi Deregulasi 1 juni 1983 ini tidak menimbulkan suatu dampak yang
merupakan penerapan dari sistem perbankan syari’ah melalui perjanjian
murni berdasarkan prinsip bagi hasil. Ada beberapa alasan yang
menghambat ter-realisasinya Deregulasi tersebut, yakni:
a. Operasi bank islam yang menerapkan prinsip bagi hasil belum diatur
b. Deregulasi tersebut tidak sejalan dengan UU Pokok Perbankan N0.14 Tahun 1967
c. Konsep
Bank Islam dianggap berkonotasi ideologis, karena berkaitan dengan
Negara Islam, sedangkan Indonesia bukanlah Negara Islam.
Dan
pada masa itu Bank Islam belum dapat berdiri, karena bank-bank yang
telah ada di Indonesia masih beranggapan bahwa sistem bank tanpa bunga
bukanlah sebagai bisnis yang dapat menguntungkan. Oleh karena itu
digunakanlah badan hukum koperasi sebagai bentuk hukumnya, sebagai wadah
penerapan sistem perbankan syari’ah.
5. Periode Pakto 1988
Pada
tahun 1988, pemerintah memandang perlu untuk membuka peluang bisnis
perbankan seluas-luasnya dengan tujuan untuk memobilitasi dana
masyarakat untuk menunjang pembangunan. Oleh karena itu dikeluarkanlah
Paket Kebijaksanaan Pemerintah Bulan Oktober (PAKTO) pada tanggal 27
1988 yang berisi tentang liberalisasi perbankan yang memungkinkan
pendirian bank-bank baru selain bank-bank yang telah ada.
6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
Titik
terang berdirinya Bank Syariah dimulai sejak diadakannya lokakarya
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dilanjutkan pada Musyawarah Nasional
IV MUI pada tahun 1990. Kemudian pada tahun 1991 berdirilah Bank
Muamalat Indonesia yang memakai prinsip ekonomi Islam dalam menjalankan
aktivitasnya. Secara yuridis keberadaan bank Syariah pertama kali diakui
oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pada Pasal 6
huruf (m) menyatakan bahwa :
Bank Umum diperbolehkan untuk menyediakan
pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah
Pasal 13 huruf (c) yang menyatakan bahwa:
Bank perkreditan Rakyat dapat menyediakan
pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah;
Berdasarkan
pasal di atas, diketahui bahwa sistem bagi hasil yang ada dalam konsep
ekonomi Islam sudah mulai diperhatikan, namun nama bank syariah sendiri
belum diatur dalam undang-undang ini.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum
Peraturan
Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992 adalah peraturan operasional dari
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Di dalam Pasal 5
ayat (3) Peraturan Pemerintah ini disebutkan mengenai bank bagi hasil, yakni:
Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil,
dalam rancangan anggaran dasar dan rencana kerja harus secara tegas
mencantumkan kegiatan usaha bank yang semata-mata berdasarkan prinsip
bagi hasil.
Tidak
ada pasal lain dalam peraturan pemerintah ini yang mengatur mengenai
bank yang menjalankan prinsip bagi hasil dalam aktivitasnya.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat
Sama
halnya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992 tentang Bank
Umum, hanya ada satu pasal yang mengatur tentang bank perkreditan yang
menjalankan prinsip bagi hasil yaitu Pasal 6 ayat (2) yang berbunyi:
Bank
Perkreditan Rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip bagi hasil, harus secara tegas mencantumkan kegiatan usaha bank
yang semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil dalam rancangan anggaran
dasar dan rencana kerjanya.
9. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 telah secara spesifik mengatur mengenai bank berdasarkan prinsip bagi hasil, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2) sebagai berikut:
Pasal 1
(1) Bank
berdasarkan prinsip bagi hasil adalah Bank Umum atau Bank Perkreditan
Rakyat yang melakukan kegiatan usaha semata-mata berdasarkan prinsip
bagi hasil.
(2) Bank
Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha bank
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib memenuhi ketentuan
sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992
tentang Bank Umum dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992 tentang
Bank Perkreditan Rakyat serta peraturan perundang-undangan lainnya yang
berlaku bagi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat.
Pada
dua Peraturan Pemerintah sebelumnya tidak dijelaskan dasar hukum dari
prinsip bagi hasil yang dimaksud di dalamnya, baru kemudian pada Pasal 2
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 dijelaskan bahwasannya dasar dari prinsip bagi hasil tersebut adalah Syari'at (hukum) Islam.
Kejanggalan yang terjadi pada pasal 2 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 adalah dimana bank menetapkan
imbalan yang akan diberikan kepada masyarakat sehubungan dengan
penggunaan/pemanfaatan dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya. Hal
ini bertentangan dengan logika bahwa orang yang meminjamkan atau
menyediakan dana memberikan imbalan kepada siapapun yang meminjam dana
atau menggunakan dana darinya. Sedangkan munculnya Dewan Pengawas Syariah
dalam bank yang menjalankan prinsip bagi hasil beserta siapa yang
berhak membentuknya dan apa saja fungsi dewan pengawas tersebut, disebutkan dalam:
Pasal 5
(1) Bank
berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syari'at
yang mempunyai tugas melakukan pengawasan atas produk perbankan dalam
menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat
agar berjalan sesuai dengan prinsip Syari'at.
(2) Pembentukan
Dewan Pengawas Syari'at diiakukan oleh Bank yang bersangkutan
berdasarkan hasil konsultasi dengan lembaga yang menjadi wadah para
ulama Indonesia.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya Dewan Pengawas Syariat berkonsultasi dengan lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Dan larangan untuk menjalankan dual-banking system yang menjadikan kerancuan atau tidak jelasnya sistem yang digunakan, sebagaimana diatur pada pasal 6 dan 7 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992:
Pasal 6
(1) Bank
Umum atau bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata
berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan
usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil
(2) Bank
Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya tidak
berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan
usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.
Pasal 7
(1) Bank
Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang telah melakukan kegiatan usaha
semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil sebelum berlakunya Peraturan
Pemerintah ini tetap dapat melakukan kegiatan usahanya, dan wajib
memenuhi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dalam jangka waktu
selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Pemerintah
ini.
(2) Bank
Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mengajukan permohonan kepada
Menteri Keuangan dengan tembusan kepada Bank Indonesia untuk memperoleh
penyesuaian izin usaha.
10. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Pada
tahun 1998, undang-undang nomor Nomor 7 Tahun 1992 dicabut dan
diganti dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Perubahan-perubahan yang ada dalam substansi undang-undang perbankan
memberikan peluang yang lebih besar kepada bank syariah untuk
berkembang. Adapun tujuan dikembangnya sistem perbankan syariah antara lain:
1. Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak menerima konsep bunga
2. Membuka peluang bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan (mutual investor relationship)
3. Meniadakan pembebana bunga yang berkesinambungan dan pembiayaan usaha berbasis moral.
Undang-undang
ini memberikan penegasan terhadap konsep perbankan Islam dengan
mengubah penyebutan “Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil” pada
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 menjadi “Bank Berdasarkan Prinsip
Syariah”. Penyebutan ini terdapat pada:
Pasal 1 ayat (3)
Bank
Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan
jasa dalam lalu lintas pembayaran;
Pasal 1 ayat (4)
Bank
Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya
tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran;
Pasal 1 ayat (12)
Pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara
bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk
mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu
dengan imbalan atau bagi hasil;
Pasal 1 ayat (13)
Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam
antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan
kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan
syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
(mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal
(musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan
(murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni
tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan
kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain
(ijarah wa iqtina);
Selain
kejelasan prinsip, undang-undang ini juga telah membahas cara
penyeluran dana yang sesuai dengan pokok-pokok ekonomi Islam seperti
mudharabah, ijarah, murabahah, musyarakah, atau ijarah wa iqtina.
Pengaturan
lebih lanjut terhadap bank Syari’ah ini ditindak lanjuti oleh BI dengan
dikeluarkannya Surat Keputusan Direksi BI Pada tanggal 12 Mei 1999
yakni:
1. Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum,
khususnya Bab XI mengenai Perubahan Kegiatan Usaha dan Pembukaan Kantor
Cabang Syariah;
2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah ; dan
3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
Beberapa
Surat Keputusan Direktur BI tersebut semakin memantapkan keberadaan
bank syari’ah. Beberapa produk syar’i siap dioperasionalisakasn dengan
payung hukum yang jelas. Bank-bank konvensional dapat membuka cabang
syari’ah dengan leluasa, selama memenuhi persyaratan. Demikian juga,
jika bank syari’ah akan dipraktekkan dengan bentuk BPR, maka keluarnya
Surat Keputusan tersebut merupakan payung hukumnya.
Kemudian
untuk mengatur kelancaran lintas pembayaran antar bank serta
pelaksanaan Pasar Uang antar bank Berdasarkan Prinsip Syari’ah (PUAS),
telah dikeluarkan peraturan sebagai berikut:
1. Peraturan
Bank Indonesia No. 2/4/PBI/2000 tanggal Februari 2000 tentang Kliring
bagi Bank Umum Syari’ah dan Unit Usaha Syari’ah Bank Umum Konvensional.
2. Peraturan
Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Giro
Wajib Minimum (GWM), yang kemudian khusus tentang Perbankan
Syari’ah diatur lebih lanjut oleh PBI No.6/21/PBI/2004 tentang Giro
Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum yang
melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarakan Prinsip Syari’ah.
3. Peraturan Bank Indonesia No.2/8/2000 Tanggal 23 Februari 2000 tentang Pasar Uang antar bank berdasarkan Prinsip Syari’ah.
4. Peraturan Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI).
5. Peraturan
Bank Indonesia No. 5/3/PBI/2003 tanggal 4 Februari 2003 tentang
Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Islam (FPJPS).
Munculnya
peraturan-peratuan di atas, kemudian ditinjaklanjuti oleh tugas dan
wewenang BI dalam menegakkan aturan di atas, dengan dimunculkannya UU
No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UUBI). Pasal 10 ayat (2) UUBI
memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk menggunakan cara-cara
berdasarkan prinsip syariah dalam melakukan pengendalian moneter.
Kemudian Pasal 11 ayat (1) UUBI juga memberikan kewenangan kepada Bank
Indonesia untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek suatu Bank
dengan memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk jangka
waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Dengan demikian, UUBI
sebagai undang-undang bank sentral yang baru secara hukum positif telah
mengakui dan memberikan tempat bagi penerapan prinsip-prinsip syariah
bagi Bank Indonesia dalam melakukan tugas dan kewenangannya.
11. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Undang-undang
yang secara spesifik mengatur tentang perbankan syariah adalah
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008. Undang-undang ini muncul setelah
perkembangan perbankan syariah di Indonesia mengalami peningkatan yang
signifikan. Pada bab I pasal 1 yang berisi tentang Ketentuan Umum
undang-undang ini telah membedakan secara jelas antara bank kovensional
beserta jenis-jenisnya dengan bank syariah beserta jenis-jenisnya pula.
Perbedaan penyebutan pun telah dibedakan sebagaimana diatur dalam pasal
1 poin ke-6 yang menyebut “Bank Perkreditan Rakyat” sedangkan poin ke-9 menyebutkan dengan “Bank Pembiayaan Rakyat”.
Usaha
Bank Syariah dalam menjalankan fungsinya adalah menghimpun dana dari
nasabah dan menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad-akad yang terdapat
dalam ekonomi Islam. Seperti mudharabah, wadi’ah, masyarakah, murabahah, atau akad-akad lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
12. Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Selain dasar hukum yang telah disebutkan di atas, landasan
hukum Islam yang dimaksud dalam perbankan syariah adalah fatwa yang
dikeluarkan oleh lembaga tertentu yang berwenang sebagaimana yang diatur
pada pasal 1 poin ke-12 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008:
Prinsip
Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Meskipun
tidak disebutkan secara langsung, undang-undang memberikan Dewan
Syariah Nasional MUI sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa
sekaligus berwenang merekomendasikan Dewan Pengawas Syariah yang
ditempatkan pada bank-bank syariah dan unit usaha syariah. Dan fatwa MUI belum memiliki kekuatan hukum yang cukup jika tidak dikonversi ke dalam peraturan yang termasuk dalam heirarki perundang-undangan. Akan tetapi fatwa tersebut termasuk dalam doktrin hukum yang bisa dipakai jika pencari fatwa sepakat dengan pendapat mufti.
MUI
sebagai salah satu lembaga yang dipercaya oleh Undang-Undang maupun
Peraturan Pemerintah unruk mengeluarkan acuan berupa fatwa, telah mengeluarkan kurang lebih 43 fatwa terkait dengan perbankan syariah.
Di antaranya adalah fatwa tentang giro dengan menggunakan sistem
wadhi’ah, yaitu pada fatwa DSN No.01/DSN-MUI/IV/2000. Pada fatwa ini,
giro yang berdasarkan Wadhi’ah ditentukan bahwa:
1. Dana yang disimpan pada bank adalah bersifat titipan
2. Titipan (dana) ini bias diambil kapan saja (on call)
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan kecuali dalam bentuk pemberian yang bersifat sukarela dari pihak bank
Meskipun
demikian, kedudukan fatwa lebih cocok jika dikategorikan sebagai
doktrin hukum yang tidak terlalu kuat jika dijadikan sumber rujukan
untuk membuat suatu hukum apabila tidak dikonversi menjadi salah satu
jenis produk hukum yang terdapat dalam heirarki perundang-undangan.
13. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Lahirnya
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa beberapa
perubahan yang signifikan terhadap kedudukan dan eksistensi peradilan
agama di Indonesia. Kewenangan absolut dari peradilan agama mengalami
perluasan, yakni pengadilan agama berwenang menangani permasalahan
ekonomi syariah yang meliputi perbankan syariah, lembaga keuangan mikro
syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, dan
beberapa masalah ekonomi Islam lainnya.
Perkembangan
ini menuntut Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan yang terkait dengan
permasalahan ekonomi Islam. Pada tanggal 10 September 2008 Mahkamah
Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. PERMA ini adalah sarana memperlancar
dalam pemeriksaan dan penyelesasian sengketa ekonomi syariah sekaligus
pedoman bagi hakim mengenai hukum ekonomi berdasarkan prinsip Islam,
sebagaimana terdapat di dalam konsiderannya.Penyusunan KOHES ini tidak
bisa terlepas dari sejumlah rujukan baik dari beberapa kitab fiqh,
fatwa-fatwa DSN MUI, dan peraturan BI tentang Perbankan Syariah.
Beberapa
peraturan yang dapat dijadikan acuan secara khusus dalam pelaksanaan
perekonomian Islam khususnya perbankan syariah terdapat pada Buku II
KOHES
a. Mudharabah (Pasal 231 sampai pasal 254)
Peranan
bank Syariah di dalam KOHES hanya sebagai perantara antara pemilik
modal (shahib al-mal) dengan pelaku usaha (mudharib). Hal ini disebankan
tidak adanya klausul yang menyatakan bahwa bank syariah memiliki
wewenang sebagai pelaku usaha. Atau dengan kata lain bank berfungsi
sebagai mediator dalam terjadinaya akad mudharabah, memeriksa kelayakan
dari penerima modal, dan melakukan pengawasan terhadap jalannya usaha.
Permasalahan ini sejalan dengan tugas dari bank syariah, yaitu
menghimpun dana dan menyalurkan pembiayaan kepada masyarakat sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah
b. Wadhi’ah (Pasal 414 sampal pasal 434)
Dalam
permasalahan wadhi’ah, bank syariah berfungsi sebagai sarana atau
tempat dari shahib al-mal untuk menitipkan hartanya. Pada pasal 418
pasal (1) KOHES dinyatakan bahwa terdapat dua akad wadh’iah. Pertama,
wadhi’ah amanah dimana penerima titipan tidak diperkenankan menggunakan
barang titipan kecuali ada ijin dari penitip. Kedua, wadhi’ah dhammanah
dimana penerima titipan diperkenankan menggunakan barang titipan tanpa
seijin penitip. Apabila akad yang kedua yang digunakan oleh bank syariah
dalam melakukan penghimpunan dana masyarakat, maka modal yang terhimpun
dapat dikembangkan untuk melakukan pembiayaan operaasional bank
syariah. Pasal 419 menyatakan bahwa dalam akad wadhi’ah dhammanah
penerima titipan boleh memberikan imbalan secara sukarela kepada
penitip. Menurut penulis, imbalan yang dimaksud adalah bentuk ungkapan
terima kasih, bentuk komitmen, dan memperkuat kepercayaan masyarakat
kepada bank syariah. Namun, adanya imbalan ini tidak bisa dipersyaratkan
pada saat akad.
B. Penerapan Akad pada Perbankan Syari’ah
Akad
adalah suatu pertalian antara ijab dan Kabul yang dibenarkan oleh
syara’yang menimbulkan akibat hokum terhadap objeknya. Sedangkan Ijab
adalah suatu pernyataan dari seseorang yakni pihak pertama untuk
menawarkan sesuatu. Dan Kabul adalah suatu pernyataan dari seseorang
yakni pihak kedua untuk menerima atau mengabulkan tawaran dari pihak
pertama.
Dalam
perbankan syari’ah akad yang dilakukan adalah berdasarkan hukum islam.
Ada beberapa asas al-‘uqud yang harus dilindungi dan dijamin dalam wadah
Undang-Undang Perbankan Syari’ah. Adapun asas-asas tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Aasas Ridha’iyyah (asas rela sama rela)
4. Asas Saling Menguntungkan
Jika di dalam hukum islam disebutkan bahwasannya rukun dan syarat dari perikatan islam adalah harus adanya:
c. Al-Aqidain (Subyek Perikatan)
d. Mahallul ‘Aqd (Obyek Perikatan)
e. Maudhu’ul ‘Aqd (Tujuan Perikatan)
f. Sighat al-‘Aqd
Maka,
kegiatan usaha pada perbankan syari’ah harus berlandaskan rukun dan
syarat yang telah disebutkan di atas, meskipun pada dasarnya kegiatan
usaha pada perbankan syari’ah adalah tunduk pada Undang-Undang No.7
Tahun 1992, Undang-Undang No.10 Tahun 1998, ataupun pada Undang-Undang
No.21 Tahun 2008.
Dalam kegiatan Wadhi’ah Perbankan Syari’ah menggunakan akad Wadhi’ah Yad Dhamanah yang
mana hasil keuntungan dari pengelolaan dana tersebut adalah milik bank,
namun kerugian yang dialami harus ditanggung oleh bank, karena nasabah
memperoleh jaminan perlindungan atas dananya.
Dasar hukum akad Wadhi’ah di dalam hukum islam terdapat dalam QS:
al-Baqarah: 283 dan Hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani bahwa:”Dari
Ibnu Umar berkata bahwasannya Rasulullah SAW. Telah bersabda “Tiada
kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat
bagi yang tidak bersuci”. Dan akad Wadhi’ah Yad Dhamanah ini
diaplikasikan dalam tabungan dan giro.
B.1 WADI’AH DHAMANAH DAN QARDH
Pada sub pembahasan ini akan diulas tentang wadi’ah dan qaradh.
1. Wadi’ah
a. Pengertian Wadi`ah
Menurut
bahasa adalah berasal dari akar kata Wada`a yang berarti meninggalkan
atau titip. Sesuatu yang dititipkan baik harta, uang maupun pesan atau
amanah. Jadi wadi`ah adalah titipan atau simpanan. Pengertian wadi`ah
menurut Syafii Antonio (1999) adalah titipan murni dari satu pihak
kepihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan
dikembalikan kapan saja sipenitip mengkehendaki.
Menurut Bank Indonesia (1999) adalah akad penitipan barang atau uang
antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi
kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta
keutuhan barang atau uang.
b. Rukun Wadi’ah
· Harta
benda, yaitu biasanya harta yang bergerak, dalam bank konvensional
tempat penyimpanannya dikenal dengan Safety Box sutu tempat/kotak dimana
nasabah bisa menyimpan barang apa saja kedalam kotak tersebut.
· Uang, sebagaimana yang telah kita lakukan pada umumnya.
· Dokumen (Saham, Obligasi, Bilyet giro, Surat perjanjian Mudhorobah dll)
· Barang berharga lainnya (surat tanah, surat wasiat dll yang dianggap berharga mempunyai nilai uang)
c. Wadi`Ah Yad Adh-Dhamanah
Wadi`Ah
Yad Adh-Dhamanah adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak
penerima titipan dengan atau tanpa ijin pemilik barang/uang, dapat
memanfaatkannya dan bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan
barang/uang titipan tersebut. Sesuai dengan hadis Rasulullah SAW:
“Diriwayatkan
dari Abu Rafie bahwa Rasulullah SAW pernah meminta seseorang untuk
meminjamkannya seekor unta. Maka diberinya unta qurban (berumur
sekitar dua tahun), setelah selang beberapa waktu, Rasulullah SAW
memrintahkan Abu Rafie untuk mengembalikan unta tersebut kepada
pemiliknya, tetapi Abu Rafie kembali kepada Rasulullah SAW seraya
berkata,” Ya Rasulullah, unta yang sepadan tidak kami temukan, yang ada
hanya unta yang besar dan berumur empat tahun. Rasulullah SAW berkata
“Berikanlah itu karena sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang terbaik ketika membayar.” (H.R. Muslim)
2. Qardh
a. Pengertian Qardh
Qardh
menurut bahasa berarti pinjaman atau hutang. Sedangkan menurut istilah
syara ialah menyerahkan harta milik, baik berupa uang, emas, atau bentuk
yang lain kepada seseorang sebagai modal usaha kerja dengan harapan
akan mendapatkan keuntungan, dan keuntungan tersebut dibagi dua menurut
perjanjian ketika akad .
b. Rukun Qardh
· Modal pokok
· Memiliki modal
· Pekerja
· Lapangan kerja
· Laba
· Ijab dan qabul
3. Hubungan Wadi’ah dengan Qardh
Wadi`ah
dalam presfektif pelaksanaan perbankan islam hampir bersamaan dengan
al-qardh yaitu pemberian harta atas dasar sosial untuk dimanfaatkan dan
harus dibayar dengan sejenisnya. Keduanya sama-sama akad tabarru yang
jadi perbedaan terdapat pada orang yang terlibat didalmnya dimana dalam
wadi`ah pemberi jasa adalah mudi`, sedangkan dalam al-qardh pemberi
jasa adalah muqridh (pemberi pinjaman). Jadi mirip seperti yang
dilakukan Zubair bin Awwam ketika menerima titipan uang di zaman
Rasulullah SAW .
Dalam akad Mudharabah,
akad ini diaplikasikan dalam deposito dan tabungan. Dalam hal ini
antara bank dan nasabah penyimpan, telah melakukan kesepkatan di awal
akad mengenai nisbah bagi hasil. Dan dana nasabah yang disimpan di bank,
akan dikelola oleh bank untuk mendapatkan keuntungan. Dan hasil
pengelolaan tersebut akan dibagi antara bank dan nasabah. Dan dasar
hukum islam dari pelaksanaan Murabahah tersebut, terdapat dalam QS:
al-Baqarah: 275 dan Hadits riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah Dari Abu
Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “ Sesungguhnya jual-beli
itu harus dilakukan suka sama suka.”
B.2 REVENUE SHARING DAN PRIVITE SHARING
Dalam system bagi hasil terdapat dua metode yang dapat diterapkan yaitu;
a. Revenue sharing
Revenue sharing adalah kegiatan bagi hasil dengan membagikan laba kotor sebagai penerapannya.
b. Profit sharing
Profit sharing adalah kegiatan bagi hasil dengan membagikan laba bersih sebagai penerapannya.
Dalam
fikih klasik disebutkan bahwa dalam proses bagi hasil , yang dibagikan
adalah keuntungan atau laba (pendapatan dikurangi biaya), tetapi dalam
praktik perbankan syariahnya yang dibagikan adalah Revenue (laba kotor)
karena sulit untuk menemukan kesepakatan tentang biaya-biaya yang
dikeluarkan nasabah. Sepintas seakan-akan praktik bagi hasil yang
diterapkan oleh perbankan syariah ini menyalahi aturan fikih klasik,
namun hal ini dilakukan tidak lain hanya untuk memudahkan proses bagi
hasil tanpa berbelit-belit, sehingga kedua pihak (bank dan nasabah)
dapat diuntungkan dengan segera dan laba dapat dengan cepat di bagikan
pada para nasabah tanpa harus menunggu proses yang lama .
Dalam
menjalankan usaha membangun perekonomian negara dibutuhkan kerjasama
dari semua elemen masyarakat dan berpegang teguh pada etika bisnis yang
baik sehingga suasana kekeluargaan dapat terbentuk dengan baik yang pada
akhirnya diharapkan mampu mengatasi kesenjangan-kesenjangan atau
konflik-konflik yang muncul akibat kegiatan perekonomian.
Perekonomian yang diusahakan oleh semua pihak diharapkan mampu membawa
rakyat pada tingkatan hidup yang lebih baik. Prinsip ini menuntut para
pelaku perekonomian menjalankan usahanya untuk meningkatkan
kesejahteraan bersama dan bukan hanya meningkatkan
kesejahteraan pribadi. Beberapa dampak yang diharapkan muncul ketika
kondisi perekonomian mengalami kemajuan adalah berkurangnya angka
kemiskinan, keterbelakangan, buta huruf dan atau putus sekolah, dan
pengangguran.
Usaha
perekonomian diharapkan memberikan keadilan yang proporsional terhadap
para pelaku atau orang-orang yang terkait di dalamnya.
Usaha
perekonomian diharapkan memberikan keadilan yang proporsional terhadap
para pelaku atau orang-orang yang terkait di dalamnya. Selain
meningkatkan kesejahteraan, usaha yang dibentuk oleh para pelaku
perekonomian juga diproyeksikan mampu bertahan dan berkembang ditengah
fluktuasi perekonomian nasional maupun global.
Usaha
perekonomian diharapkan mampu membentuk kemandirian dari masyarakat
untuk membentuk usaha-usaha baru guna meningkatkan taraf hidup.
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992
(1) Prinsip
bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) adalah prinsip
bagi hasil berdasarkan Syari'at yang digunakan oleh bank berdasarkan
prinsip bagi hasil dalam:
a. menetapkan
imbalan yang akan diberikan kepada masyarakat sehubungan dengan
penggunaan/pemanfaatan dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya;
b. menetapkan
imbalan yang akan diterima sehubungan dengan penyediaan dana kepada
masyarakat dalam bentuk pembiayaan baik untuk keperluan investasi maupun
modal kerja;
c. menetapkan imbalan sehubungan dengan kegiatan usaha lainnya yang lazim dilakukan oleh bank dengan prinsip bagi hasil.
(2) Pengertian
prinsip bagi hasil dalam penyediaan dana kepada masyarakat dalam bentuk
pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, termasuk pula
kegiatan usaha jual beli.
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992
Penetapan
besarnya bagi hasil antara bank berdasarkan prinsip bagi hasil dengan
nasabahnya didasarkan pada kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian
tertulis antara kedua belah pihak.
Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992
Dalam
menyediakan dana bagi nasabah, bank berdasarkan prinsip bagi hasil
wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah dalam
menyelesaikan kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan.
yakni
sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana
berjangka pendek dengan prinsip Wadi’ah yang merupakan piranti dalam
pelaksanaan pengendalian moneter semacam Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
dalam praktek perbankan konvensional.
sumber : http://dhitamenulis.blogspot.com/2011/03/dasar-hukum-perbankan-syariah-sistem.html